Seseorang yang memerhatikan paham liberalisme akan
tahu bahwa paham ini hakikatnya adalah anti ajaran agama. Sebab, ia sejak awal
tumbuh dalam cuaca penentangan terhadap ajaran agama. Tiga prinsip utamanya:
kebebasan, individualisme, dan rasionalisme. Semuanya menunjukkan ketidaksiapan
untuk terikat dengan ajaran agama, bahkan menentang ajaran agama.
Oleh karena itu, kita akan mendapati seorang penganut
sejati liberalisme akan terjatuh pada sekian banyak perkara kekafiran.
Seorang liberalis murni yang sejak awal antiagama
tidak termasuk dalam pembahasan kita. Akan tetapi, jika ada seorang muslim yang
berjalan menuju gerbang liberal, maka perhatikanlah ke mana Anda melangkah!
Seorang muslim yang nekat memasuki gerbang liberalisme
berarti sedang mempertaruhkan agamanya. Kasihilah diri kalian, selamatkan diri
kalian dari murka Allah ‘azza wa jalla, lalu dari siksa-Nya.
Masalah ini amat berbahaya bagi agama seseorang.
Berikut ini beberapa pokok pembatal keislaman yang
akan menjerumuskan seorang liberalis sejati pada kesalahan tersebut.
1.
Menghalalkan sesuatu yang diharamkan
Allah ‘azza wa jalla
Keyakinan bahwa suatu hal itu halal atau boleh-boleh
saja, sedangkan hal tersebut telah diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan
keharamannya disepakati ulama, maka ini berarti kemurtadan.
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata
dalam kitab asy-Syifa, “Kaum muslimin sepakat tentang kafirnya
orang yang menghalalkan pembunuhan, minuman keras, atau perbuatan zina; karena
itu semua telah diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. (Dia divonis
kafir) setelah dia tahu bahwa hal tersebut haram….”
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, kitab fikih
bermazhab Syafi’i, disebutkan bahwa seseorang yang menghalalkan sesuatu yang
haram dan disepakati keharamannya disebut kafir.
Dalam kitab lain dalam mazhab Syafi’i yang
berjudul Asna al-Mathalib, karya asy-Syaikh Zakariya al-Anshari,
beliau mengutip ucapan al-Bulqini, “Hal ini berkonsekuensi bahwa jika ada
seseorang yang menghalalkan sesuatu yang memabukkan, maka dia kafir. Sebab,
tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal haramnya sesuatu yang
memabukkan.”
Seorang liberalis sejati akan membolehkan atau
menghalalkan siapapun untuk berkeyakinan apapun,[1] beragama
apapun. Semuanya dianggap sah berdasarkan asas kebebasan yang mereka anut.
Menurut mereka, hal itu adalah hak asasi masing-masing, hak individual.
Dalam keyakinan liberal, secara rasional seseorang
boleh memandang agama tertentu sebagai agama yang saat ini pantas baginya.
Sebagaimana dibenarkan juga pada waktu lain, liberalis memandang agama lain
yang lebih pantas baginya dan iapun berpindah kepadanya.
Sebab, kebenaran adalah sesuatu yang relatif menurut
mereka. Lebih parah lagi ketika mereka mengatakan bahwa semua agama sama,
pluralisme.
Dalam kasus lain, bisa saja seorang liberalis
mengatakan bahwa minuman keras hukumnya halal di suatu daerah tertentu,
berdasarkan tinjauan rasional. Siapa pun berhak berpendapat demikian demi
kebebasan berpendapat sebagai refleksi atas hak asasi manusia. Padahal khamr,
minuman keras, apapun sebutannya dan apa pun merknya pada masa ini, hukumnya
dalam agama adalah haram sebagaimana disepakati ulama.
Sebagai contoh, Ulil Abshar Abdalla, tokoh liberal,
pernah mengatakan bahwa vodka (sejenis minuman keras) bisa dihalalkan di Rusia
karena daerahnya sangat dingin.
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan
bahwa konsensus (kesepakatan) telah tegak bahwa minuman keras sedikit ataupun
banyak adalah haram. Telah sahih sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Semua yang memabukkan adalah haram.” Barang
siapa menghalalkan sesuatu yang disepakati haram, maka dia kafir. (Kitab Nailul
Authar)
Penghalalan terhadap apa yang Allah ‘azza wa
jalla haramkan, mengandung takdzib dan juhud. Takdzib artinya
ketidakpercayaan atau pendustaan. Juhud artinya ingkar setelah
mengetahui.
Dengan menghalalkan sesuatu yang Allah ‘azza
wa jalla haramkan, berarti dia tidak memercayai kebenaran itu berada
pada hukum yang Allah ‘azza wa jalla tetapkan. Ketika dia tahu
bahwa suatu hukum merupakan ketetapan Islam lantas dia ingkari, maka dia
terjatuh dalam sikap juhud.
Takdzib dan juhud merupakan
kekafiran besar. Takdzib adalah sikap kafirnya orang-orang
musyrik yang sejak awal tidak mengimani kebenaran yang datang. Adapun juhud adalah
sikap kafirnya Fir’aun yang mengetahui kebenaran Nabi Musa ‘alaihissalam namun
mengingkarinya. Demikian pula sikap kafirnya orang Yahudi yang mengetahui
kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
mengingkarinya. Seperti itu pula sikap kafirnya sebagian orang musyrik yang
sebenarnya mengetahui kebenaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Sebagai contoh antipengharaman secara syar’i, John
Mill berkata, “Sesungguhnya pengharaman itu menyentuh kebebasan pribadi karena
pengharaman berarti menganggap seseorang tidak tahu maslahat pribadinya.” (Hakikat
Libraliyyah, hlm. 139)
1.
Keraguan
Yang dimaksud di sini adalah keraguan terhadap
kebenaran sebuah hukum yang telah ditetapkan dengan tegas berdasarkan dalil
yang sahih, al-Qur’an atau hadits yang sahih, merupakan kekafiran. Sebab,
keraguan semacam ini adalah lawan dari iman, yang artinya membenarkan dengan
yakin. Keraguan merupakan sikap kafir sebagian orang-orang munafik.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
إِنَّمَا يَسۡتَٔۡذِنُكَ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱرۡتَابَتۡ قُلُوبُهُمۡ فَهُمۡ فِي رَيۡبِهِمۡ يَتَرَدَّدُونَ ٤٥
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan
hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keragu-raguannya.” (at-Taubah: 45)
Oleh karena itu, iman tidak akan benar selama masih
ada keraguan. Di sisi lain, keyakinan merupakan syarat sahnya iman. Dalam ayat
disebutkan,
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak
ragu-ragu.” (al-Hujurat: 15)
Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
فَمَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Barang siapa yang kamu jumpai di belakang kebun ini
bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla dengan
kalbunya yakin dengan kalimat itu, maka berikan kabar gembira kepadanya bahwa
ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Seorang liberalis sejati dengan prinsip kebebasan
berpendapat tidak akan sampai pada keyakinan yang mantap bahwa yang dia yakini
adalah benar dan yang diyakini orang lain adalah salah, termasuk dalam hal
keagamaan seseorang. Dia akan menganggap apa yang diyakini orang lain bisa saja
benar dan dia tidak boleh memastikan bahwa orang lain salah, sebagaimana dia
tidak boleh meyakini bahwa yang benar hanya yang dia yakini.
Ini jelas merupakan keraguan yang berlawanan dengan
keyakinan dan percaya penuh, yang merupakan syarat sahnya iman.
Mungkin juga seorang liberalis akan terjatuh pada
sikap kontraproduktif. Dia meyakini bahwa yang dia yakini adalah benar dan yang
diyakini orang lain juga benar. Padahal keduanya merupakan keyakinan yang
bertolak belakang. Ini tampak jelas pada pluralisme yang mereka yakini.
Al-Qadhi Iyadh berkata, “Siapa yang menyatakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdusta dalam hal yang
beliau sampaikan dan beritakan, atau ragu akan kejujuran beliau, maka dia kafir
menurut kesepakatan (ulama).”
1.
Kekafiran penolakan beserta kesombongan
Maknanya, menolak untuk tunduk kepada syariat
dikarenakan sombong.
Ini adalah kekafiran iblis terlaknat. Karena
kesombongannya terhadap Nabi Adam ‘alaihissalam, dia menolak tunduk
pada perintah Allah ‘azza wa jalla untuk sujud kepada Adam.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِذۡ قُلۡنَا لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ ٱسۡجُدُواْ لِأٓدَمَ فَسَجَدُوٓاْ إِلَّآ إِبۡلِيسَ أَبَىٰ وَٱسۡتَكۡبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٤
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir. (al-Baqarah: 34)
Syaikhul Islam berkata, “… Seseorang tidak menentang
kewajibannya tetapi tidak mau melakukannya karena sombong, iri, atau benci
kepada Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya. Dia berkata, ‘Saya
tahu bahwa Allah ‘azza wa jalla mewajibkannya atas muslimin,
dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jujur saat menyampaikan
al-Qur’an.’
Akan tetapi, orang ini tidak mau melakukannya karena
sombong, iri terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, fanatik
terhadap keyakinannya, atau benci terhadap ajaran yang dibawa oleh beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, dia juga kafir menurut kesepakatan ulama.
Sebab, sesungguhnya ketika tidak mau sujud sebagaimana
yang diperintahkan, Iblis tidak mengingkari kewajibannya karena Allah ‘azza
wa jalla langsung bicara dengannya. Akan tetapi, dia menolak dan
sombong. Jadilah dia tergolong makhluk yang kafir.”(Kutub wa
Rasail wa Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim)
Seorang liberalis sangat rawanterjatuh pada kekafiran
semacam ini. Dengan prinsip rasionalnya, dia mengultuskan akal. Akhirnya,
kebaikan dan kebenaran adalah yang sesuai dengan akalnya, dan yang salah adalah
yang tidak sesuai dengan akalnya. Akan sangat mungkin seorang liberalis
merendahkan pihak lain. Sangat mungkin pula dia menolak mengikuti syariat Islam
dalam hal tertentu karena unsur kesombongan.
Tidak jarang kita dapati orang-orang liberal mengejek,
menghina, dan mengolok-olok pihak lain yang sedang melaksanakan syariat Islam.
Ini merupakan sikap sombong. Kemudian di atas kesombongannya tersebut, dia
tidak mau tunduk kepada syariat, sama dengan sikap Iblis.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc
Membolehkan di sini bermakna ‘menghalalkan’, lawan
dari ‘mengharamkan’. Berbeda hukumnya saat seseorang yang hidup dalam sebuah
negara berkata, ‘Di sini boleh saja seorang beragama Nasrani.’ Maksudnya, dia
menceritakan bahwa aturan dalam negara tersebut membolehkan seseorang untuk
beragama selain Islam, tidak berarti dia berkeyakinan boleh dan halalnya
seseorang beragama dengan selain Islam.
Seorang muslim, secara keyakinan agamanya tetap
meyakini setiap orang di mana pun berada wajib beragama Islam, dan bahwa yang
tidak beragama Islam berarti dia kafir.
Sebagai contoh, di negeri muslimin, seorang Nasrani
tetap boleh hidup berdamai dengan muslimin. Dia berstatus sebagai kafir dzimmi,
tetap dalam agamanya dan dijaga serta dilindungi oleh pemerintah Islam dengan
dia membayar jizyah. Namun, seorang muslim secara agama tetap
berkeyakinan bahwa Nasrani tersebut salah dalam beragama dan melanggar hukum
Allah ‘azza wa jalla dalam hal kewajiban untuk beragama Islam.