Fakta Bersuara, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan Ketua Majelis Hakim T Oyong mengeluarkan putusan untuk memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.
Putusan tersebut dikeluarkan oleh PN Jakpus usai mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai PRIMA. Dalam gugatannya, Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam proses verifikasi administrasi partai politik.
Dalam proses verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Sementara itu dalam putusannya, PN Jakpus menilai KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Partai Prima.
"Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," demikian amar putusan tersebut.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menegaskan putusan tersebut keliru dan juga bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.
Bivitri menjelaskan ketentuan pelaksanaan Pemilu telah diatur dalam Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam aturan tersebut, ia mengingatkan bahwa konstitusi telah mengamanatkan agar Pemilu wajib dilaksanakan selama lima tahun sekali.
"Karena itu juga dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tidak diberikan ruang sama sekali untuk menunda Pemilu secara nasional," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/3).
Ia menuturkan dalam UU Pemilu yang ada juga hanya dikenal istilah Pemilu susulan, dengan catatan tidak dilakukan secara nasional melainkan pada wilayah tertentu saja. Meski begitu, Bivitri mengatakan pelaksanaan Pemilu susulan juga tidak serta merta dapat dilakukan wilayah tertentu begitu saja.
Menurutnya harus ada kejadian luar biasa yang menjadi alasan penundaan pelaksanaan Pemilu semisal kondisi seperti bencana alam ataupun keadaan darurat lainnya. Kendati demikian kebijakan Pemilu susulan juga tidak dapat diambil melalui putusan pengadilan melainkan tetap harus melalui peraturan KPU.
"Misalnya ada gempa bumi seperti di Cianjur kemarin gitu, menunda pemilu selama beberapa bulan itu boleh. Tapi tidak secara nasional," kata dia.
"Artinya karena dia adalah norma konstitusional yang sifatnya kesepakatan politik, yang harus dilakukan juga adalah kesepakatan politik," sambungnya.
Bivitri menilai sedari awal PN Jakpus juga tidak berwenang untuk mengadili gugatan Partai PRIMA terhadap KPU. Sebab menurutnya gugatan PRIMA tersebut bukanlah ranah perdata melainkan ranah administrasi negara.
"Yang aneh seharusnya kalau ada unsur melawan hukum dari penguasa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tapi kok ini diterima di Pengadilan Negeri," ujarnya.
Lebih lanjut, ia juga mengaku heran dengan sikap PN Jakpus yang mengabulkan gugatan immaterial dari Partai PRIMA yang meminta agar pelaksanaan Pemilu 2024 turut ditunda. Padahal apabila memang gugatan tersebut masuk ke dalam ranah perdata seharusnya dampak putusan pengadilan hanya boleh dirasakan oleh penggugat dan tergugat saja.
"Dalam perkara perdata dampak hukumnya hanya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, bukan untuk umum. Jadi inilah alasan mengapa putusan ini keliru," tegasnya.
Janggal putusan
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari juga mengaku janggal dengan putusan yang diberikan oleh Ketua Majelis Hakim T Oyong dalam perkara tersebut.
Menurutnya ada banyak aturan yang dilanggar oleh PN Jakpus dalam memutus Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu. Salah satunya yakni melanggar Pasal 10 dan 11 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.
"Saya pikir memang ada yang sangat janggal di putusan PN Jakpus, karena berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2019, untuk perkara Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) tidak lagi di PN tapi semuanya harus dialihkan ke PTUN," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.
Selain itu, Feri mengatakan putusan yang ditetapkan oleh PN Jakpus juga catat secara konstitusional lantaran melanggar UUD 1945 terkait asas penyelenggaraan Pemilu.
"Sekuat apa kemudian PN melanggar aturan yang ada di UUD, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) saja tidak mempunyai kewenangan itu. Jadi melihatnya jadi sangat janggal," tuturnya.
Lebih lanjut ia menilai jikalau gugatan tersebut diproses oleh PTUN, maka putusannya juga tidak serta-merta berupa penundaan Pemilu 2024. Feri mengingatkan bahwa dalam gugatan perdata itu, yang seharusnya diperbaiki oleh putusan hakim yakni hak keperdataan Partai PRIMA.
"Yaitu mereka diberikan hak untuk verifikasi kembali. Kok kemudian tiba-tiba meloncat untuk menunda penyelenggaraan pemilu, jadi janggal dan aneh kalau kemudian dikaitkan dengan konsep keperdataan," jelasnya.
Di sisi lain, Feri mewanti-wanti apabila langkah gugatan dan penerbitan putusan itu sebagai upaya yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang menginginkan penundaan Pemilu.
Dia berharap pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi dapat mengabulkan permohonan KPU dan membatalkan putusan PN Jakpus sebelumnya.
"Bagi saya ada yang tidak sehat dan tidak bisa dibiarkan putusan ini. Kalau dalam konsep karena ini bukan yurisdiksi dari PN, semestinya dibatalkan atau batal demi hukum dianggap tidak pernah ada putusan," tuturnya.
Feri juga meminta agar seluruh PN yang lain tidak ikut-ikutan atau mencoba mengabaikan perintah yang ada dalam Peraturan MA. Ia mengingatkan bahwasanya PN tidak pernah memiliki kewenangan apapun untuk menunda Pemilu.
"Sebab kalau PN diberikan wewenang untuk menunda Pemilu secara nasional maka hampir banyak PN diberbagai daerah melakukan itu. Jadi tidak masuk akal," jelasnya.
Sementara itu, Bivitri juga meminta Mahkamah Agung (MA) untuk dapat bersikap lebih tegas dalam perkara ini. Menurutnya selain menyarankan agar KPU mengajukan banding, MA juga dapat memeriksa hakim-hakim yang terlibat dalam perkara itu.
Ia mengatakan kewenangan untuk memeriksa hakim tidak terbatas pada Komisi Yudisial (KY) semata. Bivitri menjelaskan hal tersebut memang dimungkinkan melalui Badan Pengawasan MA.
Berkaca dengan kasus tersebut, ia juga memandang MA perlu mengeluarkan Fatwa ataupun Surat Edaran kepada seluruh Pengadilan Negeri yang ada. Ia khawatir tanpa adanya tindakan tegas dari MA, 'kebobolan' yang terjadi pada PN Jakpus dapat kembali terulang di masa yang akan datang.
"Supaya PN benar-benar memperhatikan bahwa kompetensi untuk memeriksa perkara Pemilu itu bukan di PN. Itu sebenarnya bisa, kalau MA-nya bagus. Karena ini rentan menjelang Februari 2024 jangan-jangan nanti yang lain coba-coba begini," tegasnya.
Bivitri menilai hal tersebut benar-benar perlu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai bentuk evaluasi terhadap jajarannya. Mengingat dengan adanya aturan yang ada dalam Perma Nomor 2 Tahun 2019 saja PN Jakpus tetap dapat mengeluarkan putusan tersebut.
"Jadi saya kira MA harus bergerak, itu overlapping kewenangan. Nanti kejadian terus, orang nyoba-nyoba saja namanya juga kalah. Kalau ingin menang segala cara pasti akan dicoba," ujarnya.
Sumber : CNN